dikampung pohijo

Selamat Datang di BLOG Kampung pohijo yang memuat Informasi Kegiatan dan Prestasi Warga Desa Pohijo Kecamatan Margoyoso Kabupaten Pati Jawa Tengah

Rabu, 10 Agustus 2011

FILOSOFI TEMBANG DHANDHANGGULO


Saking pundi kawitane nguni
manungsa kutu walang ataga
kang gumelar ngalam kiye
sayekti kabeh iku
mesthi ana inkang nganani
yeku Kang Karya Jagad
Ingkang Maha Agung
iku kang dadi sangkannya
iya iku kang dadi paraneki
sagunging kang dumadya
(Dari mana asal mulanya dulu/manusia dan segala makhluk/ segala yang ada di alam ini/ sebenarnyalah semua itu/ pasti ada yang mengadakan/ yaitu Pencipta Alam Semesta/ Tuhan Yang Maha Agung/ itulah asal mula/ dan itulah pula tujuan akhir/ dari semua yang ada). Demikianlah bunyi tembang Dhandhanggula, yang dituangkan dengan bahasa lugas, tanpa menggunakan kembang (bunga) dan lambang bahasa yang harus ditafsirkan lagi maknanya, sehingga semua orang dengan mudah memahami salah satu filsafat hidup Jawa tentang wikan sangkan-paraning ngaurip (Mengerti Asal dan Tujuan Hidup).

Pada era globalisasi sekarang ini, di mana hidup dan kehidupan manusia penuh dengan godaan, tekanan beban hidup dan tantangan hidup, akibat kemajuan zaman yang melesat dengan pesat, tidak terkejar lagi oleh nalar ataupun akal sehatnya orang-orang yang ketinggalan dan ditinggalkan zaman, sebab masih sederhana dalam menjalankan pikiran dan menjalani kehidupannya. Ketimpangan itu menyebabkan ketidak seimbangan antara kehidupan sosial yang berujud mengejar material untuk kelangsungan kehidupannya, dengan kehidupan spiritual yang ditujukan untuk mendapatkan ketentraman dalam hidupnya. Apalagi, kini wacana pun diumbar sebagai obor untuk membakar ketidak adanya keadilan dan kebenaran yang terjadinya secara kausal sesuai kepentingannya sendiri-sendiri dan dijadikan sebagai pemicu bagi rasa saling curiga-mencurigai menjadi kebencian, penyebaran informasi yang: ‘katanya orang’ (isue) menjadi agar dianggap ‘kenyataan yang sungguh ada kejadiannya (faktual)’, sehingga unjuk rasa murni (adu argumentasi) pun tak segan diubah menjadi unjuk adujotos dan adu emosional massal.

Kenyataan yang kontroversial itu menunjukkan bahwa kini orang tidak lagi bertindak untuk: 1. menjaga keseimbangan jiwa (jejeg adeging urip), ‘agar tidak goncang’ akibat godaan materialisme (gebyar duniawiah), kesombongan kekuasaan (adigang) dan ketegangan mental (stress); 2. menjaga kesatuan hidupnya dengan lingkungan alam (sekitar dan semestanya), sebagai wujud dari tugasnya sebagai makhluk yang dipercaya Allah untuk mengelola dunia, ‘agar tidak rusak/dirusak’ 3. menjaga keharmonisan dan tenggang rasa terhadap sesama (jejeg adeging urip bebrayan), ‘agar tidak saling bentrok. Ketiganya adalah syarat untuk mencapai kesempurnaan hidup dan kesempurnaan mati. Kesempurnaan untuk mengerti Asal dan Tujuan Hidup (wikan sangkan-paraning ngaurip, mulih mulanira (mengetahui jalan pulang ke asal-muasalmu),  manunggaling kawula-gusti (sebagai ciptaan kembali kepada Sang Pencipta-nya); demikian seperti apa yang diuraikan secara adi logika (symbolic logic) dalam Wirid Hidayat Jati karya R Ng Ranggawarsita, tokoh utama Pujangga Baru yang hidup antara tahun 1802-1873).

Jalan untuk menuju kesempurnaan, dicapai melalui: ibadat atau sembah-sujud kepada Yang Maha Esa (Allah SWT), dilaksanakan melalui Jejeg adeging urip (tegak dan lurus menjalani kehidupannya) artinya jiwanya tegar (tiada goyah) oleh rasa was-was, oleh godaan duniawi dan oleh nafsu amarah; jalan lahir dan jalan batin. Manusia yang telah mencapai taraf kesempurnaan berarti telah mampu menjalani dan mengalami penghayatan batin; mendengar akasawakiya/akasasabda (swaraning langit/logos) sehingga disebut manusia waskita (bijak bestari); yang dalam Sufisme (filsafat Islam) disebut penghayatan mistik (tasawuf), yaitu mengetahui benar: ‘kenyataan kesatuan hidup (manunggaling urip)’.

Dunia pemikiran Barat kotemporer melalui hasil penemuan fisika modern sebagai salah satu cabang ilmu pengetahuan alam, kini telah menebarkan pemahaman dan jalan berpikir baru, yang bagi para filsuf posmodernisme ditempuh melalui gerakan phylosophy of life yang dimotori oleh tokoh-tokoh: Henri Bergson (1859-1941), Edward Le Ray (1870-1954), hingga Jose Ortega Y Gasset (1883-1955) dan telah mampu memahami bahwa ‘seluruh wujud dan peristiwa hidup’ ini saling berkaitan atau menyejarah. Berlangsung sebagai evolusi (proses yang berkesinambungan) dari inti hidup dan kehidupan manusia, sehingga pada hakekatnya ‘hidup adalah satu’, atau manunggaling urip. Atas prestasi para fisuf Barat kontemporer itu, berarti bahwa apa yang telah dibahas oleh para pujangga (filsuf Jawa) sebelum para filsuf Barat itu menemukan phylosophy of life, (lihat perbedaan tahun-tahun hidup pujangga Ranggawarsita dan para filsuf Barat kontemporer tersebut di atas).

Maka kini, di era zaman kontemporer sekarang ini, yang bermula sejak medio abad ke-20 Masehi, hakekat ‘hidup adalah satu’ atau manunggaling urip, bukan lagi sebagai kearifan tradisional tetapi ‘meloncat’ menjadi kearifan kontemporer yang sesungguhnya berasal dari kearifan perenial (azali). Imtelejensia Timur dan Barat kini bertemu pada suatu titik yang sama, yaitu back to natural point (kembali ke titik kodratiah) yaitu filsafat hidup (phylosophy of life).

Kenyataan ini bukan dipahami sebagai ‘kesombongan intelektual’ tetapi dipahami sebagai ‘kearifan universal (perenial)’ yang muncul kembali kepermukaan pemikiran filsafat Barat setelah melewati era chaos (kekacauan) tentang bahasan filsafat hidup di dunia Barat, selama era modernisasi hingga mencapai puncak ‘kecanggihan’ ilmu pengetahuan dan superteknologi’ yang telah menghancurkan seluruh potensi alam hanya demi kenikmatan hidup orang-orang di dunia Baratnya sendiri. Dan kini, tiba gilirannya ‘modernisme dikritisi oleh posmodernisme’. Itulah proses evolusi sejarah pemikiran Barat yang oleh filsafat Jawa disebut dengan istilah hanyakra manggilingan (seperti jalannya roda pedati yang terus berputar maju ke masa depan, bagian roda yang tadinya berada di landasan menanggung beban sejarah hidup dan kehidupan manusia, kini tiba gilirannya berada di atas dan bagi bagian roda yang dulu berada di atas kini harus gantian berada di landasan menanggung beban sejarah hidup dan kehidupan manusia.

Kiranya kini telah tiba saatnya bahwa dunia Barat harus ‘berani’ mengakui akan kebenaran tentang pembagian kelompok dasar ilmu pengetahuan atau struktur dan metodologi ilmu pengetahuan (epistemologi) seperti apa yang dikemukakan oleh ilmu filsafat Jawa, bahwa pengetahuan manusia itu berasal dari tiga sumber utama, yaitu: 1. Kawruh, yang berasal dari lingkungan hidup lahir dan kasat mata, yaitu lingkungan alam benda dan alam biologis, dengan mengusahakan keseimbangan dan kelestarian kehidupan alam semesta; serta lingkungan alam sesama manusia, dengan menjalankan tata laku susila dalam hidup bermasyarakatnya; 2. Ngelmu, yang berasal dari lingkungan hidup batiniah (spiritual), untuk memupuk ketajaman rasa-pangrasa secara bertingkat dari rasa penginderaan, nafsu naluriah, keakuan, kesusilaan, keindahan, sampai rasa jati; 3. Ngelmi, yang berasal dari lingkungan hidup religius, untuk memupuk keyakinan dan kesadaran (iman dan taqwa) kepada Tuhan Yang Maha Esa, dengan menjalani pelaksanaan ibadah atau sembah-sujud secara lahir dan batin. Bukan masalah unggul (superior) dan merendahkan (inferior) seperti ‘keangkuhan’ intelektual Barat selama ini, tetapi demi keselamatan hidup dan kehidupan sagunging kang dumadya (dari semua yang ada), semua makhluk Ciptaan-Nya semata. Beranikah mereka untuk mengakuinya?. q - s
Kala sira kadhawuhan mijil
Sira ora ngerti apa-apa
njur Allah paring rakhmate
iku wujud pangrungu
paningal lan ati kang suci
mula padha nyukurana ing paringan mau
kanggo sangu nggonmu mlana
lumaku ing alam kadonya puniki
supaya nora sasar
Terjemahannya: Saat engkau diperintahkan lahir ke dunia/ engkau tidak tahu apapun juga/ kemudian Allah memberikan rakhmat-Nya/ itu ujudnya berupa pendengaran/ penglihatan dan hati yang suci/ oleh karena itu bersyukurlah/ kepada pemberian tersebut/ untuk bekal dalam perjalanan hidupmu/ perjalanan di alam duniawi ini/ agar supaya tidak tersesat.
TEMBANG Dhandhanggula tersebut di atas, adalah bait ketiga dari suatu rangkaian tembang Jawa yang dimaksudkan untuk menjelaskan tentang kesadaran pribadi atau memahami kasunyatan (realitas jati diri) sendiri. Namun sayang, tembang itu tidak diketahui siapa penciptanya. Penulis tembang Jawa tersebut dengan kecendekiawan pikir dan rasa hatinya, telah dengan arif menuangkan firman Allah SWT: Dan tatkala masa kehidupan dalam rahim ibu telah usai, “Allah mengeluarkannya dari perut ibunya sedang ia tidak tahu-menahu halnya. Allah memberinya bekal awal berupa pendengaran, penglihatan dan pemikiran supaya ia mau berpikir”. (QS, An Nahl ayat 78): Kemampuan ‘berpikir’ itulah karunia yang lebih tinggi derajatnya dibanding karunia yang diberikan-Nya kepada makhluk-makhluk lain. Namun, bukan hanya sekadar berpikir doang, tetapi berpikir dengan hati yang suci (berpikir jernih dengan keiklasan hati).

Dengan hati yang suci itu manusia mampu mengenal dan memahami adanya hal-hal di balik yang tampak/fisik, yaitu yang non fisik; hal-hal metafisik (dibalik yang fisik). Dalam diri manusia dilekatkan-Nya roh, yang memiliki kekekalan sesudah kematian jasadnya. Bila manusia itu ‘menghendaki’ maka ia akan mampu untuk memahami akan hakikat hidup sejati, yakni paham akan sangkan paraning dumadi (arah tujuan kehidupan yang hakiki); bahwa hidup ini bukan hanya sebatas kelahiran sampai kematian saja, tetapi hidup yang sesungguhnya, seperti telah diingatkan oleh Rasulullah Muhammad saw, bahwa: “Walaupun masa kehidupan di dunia merupakan kehidupan yang terpendek, dunia merupakan tempat menanam kebahagiaan hidup di akhirat, dunia merupakan masra’atul akhirah (lahan tanaman akhirat).

Dalam memahami makna sabda Rasulullah itu, Orang Jawa berusaha terlebih dahulu untuk mampu memahami akan hakikat hidup sejati, yakni memahami sangkan paraning dumadi (arah tujuan kehidupan yang hakiki). Untuk bisa memahami sangkan paraning dumadi, sebelumnya ia harus memahami terlebih dahulu makna dari ‘masa kehidupan di dunia merupakan kehidupan yang terpendek’, yaitu ngawruhi kodrat lahir batin (mengetahui kodratnya secara lahir batin); hal itu dituangkannya dalam tembang Dhandhanggula:Sanepane, wong urip puniki
aneng donya iku umpamanya
mung mampir ngombe
umpama manuk mabur
lepas saking kurunganeki
pundi mencoke mbenjang, aja nganti kleru
umpama wong jan sinanjan
ora wurung mesthi bali mulih
mring asal kamulanya

Terjemahannya: Ditamsilkan, orang hidup senyatanya, di dunia itu diumpamakan, hanya seperti orang yang singgah minum, semisal burung terbang, lepas dari sangkarnya, ke mana hinggapnya kelak, jangan sampai keliru, seumpama orang saling kunjung-mengunjungi, akhirnya pasti kembali pulang, ketempat asal mulanya.

Bila manusia telah tahu akan kodratnya secara lahir batin, maka ia akan memperoleh ati suci tan mangro pikir (hati suci tanpa menduakan dengan akal) serta sucining paningal (kesuciannya penglihatan). Artinya, untuk bisa mengetahui tentang kodratnya sebagai manusia yang menanggung kewajiban untuk hidup dengan baik, dalam melaksanakan kehidupannya di dunia fana ini, pertama-tama adalah harus menjaga kesucian dari penglihatannya. Mata dikaruniakan kepada manusia untuk melihat apa saja yang terpampang di depannya, tetapi bukan berarti semua yang terpampang di hadapannya itu harus dilihatnya. Hal-hal yang dilarang untuk dilihat sesuai ketentuan larangan-Nya, dimaksudkan untuk menjaga moral matanya agar tetap suci, sehingga tidak menyebabkan gejolak nafsu (emosi) yang tidak terkendalikan oleh pikiran.

Pikiran itulah yang memerintah anggota badan untuk bertindak. Walau nurani (hati suci) sudah memperingatkan, tetapi kalau pikiran tak mampu menguasai gejolak nafsu (emosi), lalu tetap berbuat apa yang dilarang-Nya, maka penyesalanlah yang akan muncul dalam nurani (hati suci). Itulah makna ati suci tan mangro pikir serta sucining paningal (kesuciannya penglihatan).

Hanya dengan mengetahui kepada kodratnya itu, manusia akan sampai kepada pemahaman jatining tunggal (kesejatian satu-satunya) yakni sangkan paraning dumadi (arah tujuan kehidupan yang hakiki). Artinya, orang yang bisa menjaga kesucian penglihatannya, kesucian pikirannya dan kesucian hatinya atau hidup dengan bersih dari dosa jasmaniah dan rohaniahnya (lahir batinnya), berarti memiliki kepribadian yang baik, memiliki jati diri yang kukuh, kokoh, keket (pekat), bisa menjaga martabat jatining tunggal (kesejatian satu-satunya). Martabat bukan dalam arti duniawiah, tetapi martabat dirinya dihadapan Allah SWT. Dilahirkan kedunia dalam keadaan suci dan kembali kepada-Nya pun dalam keadaan suci pula. Itulah makna sangkan paraning dumadi atau paham akan arah tujuan kehidupan yang hakiki secara rohaniah (spiritual).

Apakah tujuan yang ingin dicapai dengan paham akan sangkan paraning dumadi?. Tidak ada lain kecuali untuk mencapai kepada pemahaman tertinggi: manunggaling kawula Gusti (bersatunya kembali manusia dengan Sang Penciptanya). Manusia yang ingin pulang ke haribaan Sang Penciptanya di surga (kebahagiaan hidup di akhirat) harus membawa buah hasil karya yang ditanam di masra’atul akhirah (lahan tanaman akhirat) atau hidup suci di dunia fana. Itulah yang disebut oleh Orang Jawa sebagai Ilmu Kasunyatan (pengetahuan tentang Realitas Jati Diri).

Apakah benih untuk ditanam di masra’atul akhirah (lahan tanaman akhirat) itu?. Tiada lain adalah dapat memahami kenyataan bahwa manusia hidup di dunia ini berada di tengah masyarakat dalam hubungan timbal balik dengan makhluk lainnya sampai kematiannya. Oleh karena itu, realitas jati diri (kasunyatan) tidaklah cukup hanya mengerti tentang sangkan paraning dumadi secara kuno (klasik). Artinya, sangkan paraning dumadi hanya dimengerti sebagai sekadar mulih asaling wiji (pulang ke asalnya) saja. Maknawi mulih asaling wiji itu bukan hanya sekadar dimengerti dalam kaitannya dengan alam wasana (dunia akhir/akherat), mulih asaling wiji itu harus dimengerti dalam dimensi waktu secara menyeluruh, yakni alam purwa (alam sebelum lahir) alam madya (hidup di dunia ini), dan alam wasana (alam sesudah kematian).

Orang dapat mulih asaling wiji dengan sempurna jika di dalam alam madya saat ini, ia menjalani tugas hidupnya dengan sempurna pula. Dalam alam madya ini orang hendaknya hidup dengan penuh amal sholeh terhadap sesamanya. Kasunyatan bukan hanya dipahami secara teoritis atau imbauan moral saja, tetapi harus dipahami secara praktis atau dipraktekkan dengan nyata dalam kehidupan bermasyarakatnya, kehidupan bernegaranya dan kehidupan berbangsanya.

Tidak ada nilai guna dan hasil guna yang akan dituai untuk bekal menuju surga, bila hidup ini hanya dilakoni dengan tebar pesona, ngumbar janji (nafsu) dan ngobral wacana.  

fROM :
file:///D:/ARTIKEL/Primbon%20Tradisi%20Jawa%20~%20BismillahiSlamet.htm

Tidak ada komentar: